Meskipun sebagai kepala Negara, Umar menghindarkan diri dari kesenangan dan fasilitas yang biasa para penguasa. Ia ingin menjadi orang yang pertama lapar jika terjadi paceklik, dan yang paling terakhir kenyang jika rakyatnya makmur. Rasa tanggung jawabnya mengharuskannya merasakan kesusahan dan kesulitan yang diderita orang lain.
Dia pernah mengucapkan:
“Mana mungkin saya dapat menaruh perhatian terhadap keadaan umat, jika saya sendiri tidak merasakan penderitaan mereka”.
Sewaktu kaum muslimin ditimpa kekurangan dagin g dan minyak samin, Amirul Mukminin Umar bin Khattab menggunakan minyak biasa sebagai campuran bahan makanannya hingga perut merintih berbunyi-bunyi. Dia mengusap perutnya dan berkata:
“Wahai perut, kamu harus membiasakan makan minyak goreng ini selama harga minyak samin melangit”.
Pada tahun paceklik, banyak jatuh korban jiwa di Madinah karena kelaparan. Umar menyuruh menyembelih binatang ternak dan membagi-bagikan dagingnya kepada penduduk. Para petugas pemotong hewan ternak berlomba-lomba memilih bagian-bagian hewan yang biasa digemari untuk dipersembahkan kepada Amirul Mukminin.
Ketika Umar akan makan, dilihatnya telah tersaji punuk unta dan hatinya (bagian unta yang paling enak).
“Dari mana ini?”, tanya Umar.
“Dari mana ini?”, tanya Umar.
“Dari hewan yang disembelih hari ini”, jawab mereka.
“Tidak, tidak…”, kata Umar sambil menggeser sajian itu dengan tangannya. “Saya akan menjadi pemimpin terburuk seandainya saya memakan daging yang empuknya dan meninggalkan tulang-tulangnya untuk orang lain (umat)”, tambahnya.
Kemudian dipanggillah seorang pelayan, Aslam, dan berkata:
“Angkatlah piring ini dan ambilkan saya roti dengan minyak biasa”.
Ibroh:
Kebanyakan pejabat Negara atau peminpin daerah, logika mereka mengatakan, apabila telah mengerahkan tenaga dan usaha untuk kepentingan rakyat, maka wajar dia mengambil sesuatu yang lebih dari warga biasa. Misalnya, mengambil bagian daging atau hidangan yang paling enak, kendaraan yang paling nyaman, rumah yang megah lengkap dengan perabot di dalamnya. Tapi logika itu tidak berlaku bagi Umar.
Sebagai orang yang bertanggung jawab mengurusi kebutuhan rakyat, pemimpin rela untuk menerima bagian yang terakhir dan menjadi orang yang pertama memikul getirnya kesengsaraan.