Langsung ke konten utama

Saya Menjadi Pemimpin Terburuk Jika .....

Meskipun sebagai kepala Negara, Umar menghindarkan diri dari kesenangan dan fasilitas yang biasa para penguasa. Ia ingin menjadi orang yang pertama lapar jika terjadi paceklik, dan yang paling terakhir kenyang jika rakyatnya makmur. Rasa tanggung jawabnya mengharuskannya merasakan kesusahan dan kesulitan yang diderita orang lain. 

Dia pernah mengucapkan:
Mana mungkin saya dapat menaruh perhatian terhadap keadaan umat, jika saya sendiri tidak merasakan penderitaan mereka”.

Sewaktu kaum muslimin ditimpa kekurangan dagin g dan minyak samin, Amirul Mukminin Umar bin Khattab menggunakan minyak biasa sebagai campuran bahan makanannya hingga perut merintih berbunyi-bunyi. Dia mengusap perutnya dan berkata:
Wahai perut, kamu harus membiasakan makan minyak goreng ini selama harga minyak samin melangit”.

Pada tahun paceklik, banyak jatuh korban jiwa di Madinah karena kelaparan. Umar menyuruh menyembelih binatang ternak dan membagi-bagikan dagingnya kepada penduduk. Para petugas pemotong hewan ternak berlomba-lomba memilih bagian-bagian hewan yang biasa digemari untuk dipersembahkan kepada Amirul Mukminin.

Ketika Umar akan makan, dilihatnya telah tersaji punuk unta dan hatinya (bagian unta yang paling enak).
 
Dari mana ini?”, tanya Umar.
Dari hewan yang disembelih hari ini”, jawab mereka.

Tidak, tidak…”, kata Umar sambil menggeser sajian itu dengan tangannya. “Saya akan menjadi pemimpin terburuk seandainya saya memakan daging yang empuknya dan meninggalkan tulang-tulangnya untuk orang lain (umat)”, tambahnya.

Kemudian dipanggillah seorang pelayan, Aslam, dan berkata:
Angkatlah piring ini dan ambilkan saya roti dengan minyak biasa”.

Ibroh:

Kebanyakan pejabat Negara atau peminpin daerah, logika mereka mengatakan, apabila telah mengerahkan tenaga dan usaha untuk kepentingan rakyat, maka wajar dia mengambil sesuatu yang lebih dari warga biasa. Misalnya, mengambil bagian daging atau hidangan yang paling enak, kendaraan yang paling nyaman, rumah yang megah lengkap dengan perabot di dalamnya. Tapi logika itu tidak berlaku bagi Umar.

Sebagai orang yang bertanggung jawab mengurusi kebutuhan rakyat, pemimpin rela untuk menerima bagian yang terakhir dan menjadi orang yang pertama memikul getirnya kesengsaraan.

Postingan populer dari blog ini

Hadiah di Zaman Kita Adalah Suap

Amru bin Muhajir menuturkan: Pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz menginginkan sebuah apel. Katanya: “ Alangkah enaknya jika kita punya apel. Baunya harum dan rasanya enak. ” Kemudian seorang lelaki dari keluarganya pergi untuk menghadiahkan sebuah apel untuknya. Ketika utusan saudara Umar datang membawakan apel untuknya, dia berkata: “ Betapa harum baunya dan betapa bagus kulit buahnya. Bawa kembali apel wahai anak muda dan sampaikan salamku kepada si fulan pemberi apel ini. Katakan padanya bahwa hadiah yang dia berikan telah kami terima sesuai dengan yang dia niatkan ”. Aku (Amru bin Muhajir) berkata: “ Wahai Amirul Mukminin, pemberi apel itu adalah anak pamanmu dan seorang laki-laki dari anggota keluargamu, sedang engkau sudah mengetahui bahwa Nabi saw mau memakan hadiah, tetapi beliau tidak menerima sedekah ”. Umar menjawab: “ Celaka kamu, sesungguhnya hadiah pada zaman Nabi saw adalah benar-benar hadiah, tapi pada zaman kita ini, hadiah itu adalah suap (risywah) ”.

Umar dan Anak Unta yang Tersesat

KISAH : Kiamat seolah datang, seandainya Umar mendengar bahwa ada sepeser uang milik umum dicuri atau dirampas atau dibelanjakan secara boros. Tubuhnya akan gemetar dan hati orang yang melihatnya akan bergetar seolah-olah yang hilang bukan hanya satu atau dua rupiah tetapi seluruh kekayaan dan isi perbendaharaan baitul mal. Ia pernah bersumpah bahwa dirinya merasa takut akan pertanyaan Allah seandainya seorang unta hasil zakat hilang di pinggir sungai Tigris atau Eufrat, walaupun dia sendiri berada di Madinah. Pada suatu hari yang terik di musim panas yang amat menyengat, Usman bin Affan melepaskan padangan dari jendela dangaunya yang terletak di tempat yang tinggi. Tampak olehnya seorang laki-laki sedang mengiring dua ekor anak unta, sementara udara panas menyelubungi bagaikan lambaian lidah api yang menyala seolah-olah hendak membakar gunung dan menghancurkannya. " Kenapa orang ini tidak tinggal di rumah saja menunggu udara dingin ?" Tanya Usman dalam hati. Kem...

Juallah Cincinmu, Wahai Anakku !

Ketika Umar bin Abdul Aziz mengetahui bahwa salah seorang anaknya telah membeli cincin dengan hiasan batu mulia seharga 1.000 (seribu) dirham, dia menulis sepucuk surat kepadanya.  Bunyinya: “ Wahai anakku, aku bersumpah kepadamu agar menjual lagi cincin tersebut dan agar memberikan 1.000 (seribu) kaum fakir miskin dengan harga itu. Kemudian kami membeli sebuah cincin besi seharga 1 (satu) dirham lalu ukirlah padanya kalimat “ Sesungguhnya Allah merahmati orang-orang yang tahu diri ”.