Pada suatu malam, sebagian kafilah yang tiba di Madinah berkemah di luar kota. Dengan ditemani Abdurrahman bin Auf, Amirul Mukminin pergi ke luar untuk meninjau kafilah itu. Ketika malam telah larut dan mendekati dini hari, mereka duduk dekat kafilah yng sedang tidur nyenyak.
“Sebaiknya kita tinggal di sini saja sampai pagi supaya bisa menjaga tamu-tamu kita”, kata Umar.
Tiba-tiba terdengar suara bayi menangis. Umar tersentak dan termangu. Dia menung-gu barangkali anak itu berhenti menangis. Tetapi anak itu semakin menangis menjadi-jadi. Umar mendatangi suara tangisan itu. Ternyata ibunya sedang meninabobokannya.
“Takutlah kepada Allah, perlakukanlah anak itu dengan baik”, kata Umar kepada ibu itu.
Umar pun kembali. Tapi tak lama berselang, bayi itu kembali menangis. Umar segera menuju tempat itu lagi dan berseru kepada ibu itu, “Telah saya katakan, takutlah kepada Allah dan perlakukan anak itu dengan baik”.
Umar kembali ke tempatnya. Tapi belum sempat dia duduk, tangis bayi itu terdengar lagi. Untuk ketiga kalinya, dia pergi menemui ibu tadi.
“Hai, ibu. Saya lihat kamu ini ibu yang jahat. Kenapa anakmu tidak bisa diam?” Kata Umar sambil bertanya.
“Anda membuat saya kesal”, ujar ibu itu tanpa mengetahui siapa lawan bicaranya. “Saya mau menyapihnya, tapi dia tidak mau”, sambungnya.
“Kenapa mau menyapihnya?” Tanya Umar.
“Ya, karena Umar hanya memberikan tunjangan kepada anak yang telah disapih”, jawab ibu itu.
“Berapa umurnya?”, Tanya Umar lagi.
“Baru beberapa bulan”, ujar ibu itu.
“Hai ibu, janganlah terlalu cepat menyapih anakmu!”, kata Umar.
Kemudian sahabatnya Abdurrahman bin Auf menuturkan: Ketika itu, Umar menjadi imam shalat subuh, tetapi bacannya tidak terdengar jelas karena kerongkongannya telah sesak disebabkan tangisnya. Setelah salam, dia bergumam:
“Duhai celaka Umar! Betapa banyak anak-anak muslim yang telah dibunuhnya.”
Setelah itu, dia menitahkan seseorang untuk mengumumkan di Madinah: “Jangan terlalu cepat menyapih anak-anak kalian, karena Amirul Mukminin akan memberikan tunjangan dari Baitul Mal bagi setiap anak yang lahir dalam Islam”. Pengumuman itu juga disampaikan kepada para gubernur.
Ketika dua orang bersahabat itu kembali ke tempat kafilah tadi, Amirul Mukminin menanggalkan jubahnya dan memasak makanan bagi mereka. Merekapun makan hingga kenyang. Setelah itu disuruhnya seseorang mengambil unta untuk membawa mereka ke Madinah dan berada di dekatnya, agar mereka mendapatkan pelayanan yang lebih memuaskan dan tempat yang lebih baik.