Langsung ke konten utama

Tidak Ada Campur Tangan Istri Dalam Kebijakan

KISAH :

Pada suatu hari, Umar bin Khattab menjatuhkan hukuman kepada salah seorang pejabatnya. Maka istrinya, Atikah, menunggu-nunggu saat yang baik, yaitu di saat suaminya tenang, untuk mengusulkan jasa baik terhadap pejabat itu. Akhirnya kesempatan itu tiba, namun ketika sampai di hadapan Umar, yang dikatakannya tidak lebih dari :

"Apakah kiranya kesalahannya …. ?"

Mendengar pertanyaan itu, amarah Umar pun meledak, seolah-olah suatu sendi dari agamanya hancur berantakan. Kemudian serunya :

"Hai musuh Allah, apa urusanmu dalam masalah ini ?"

Pada peristiwa ini, Umar menganggap tindakan istrinya sebagai campur tangan dalam tanggung jawab sebagai pemegang amanah pemerintahan, tanpa dia memintanya. Seandainya masalah ini merupakan obyek perundingan antara dia dengan istrinya, tentulah Umar bersedia dan takkan keberatan menerima buah pikiran dan pendapat yang dikemukakan oleh istrinya.



IBROH:

Ketika iblis yang telah berputus asa karena tidak berhasil menggoda Adam untuk memakan buah dari pohon terlarang 'khuldi', maka iblis datang dan menggoda istrinya Hawa untuk merayu dan mengajak suaminya melanggar perintah Allah. Maka makar iblis pun berhasil.

Suatu urusan yang tidak dapat diselesaikan di kantor, maka istri dari pejabat atasannya menjadi 'jalan alternatif' sebagian orang untuk menjadi 'makelar' bagi penyelesaian masalahnya. Tentu saja 'jasa baik' dari istri pejabat tersebut tidak diminta secara gratis. Mulai dari urusan promosi jabatan, meng-gol-kan tender proyek, hingga urusan menjatuhkan pejabat lain untuk memuluskan syahwat kekuasaan.

Yang lebih buruk lagi, apabila istri seorang pejabat itu sendiri yang menawarkan dirinya menjadi 'makelar'. Biasanya dia meminta imbalan yang tidak sedikit.

Dan yang jahat apabila seorang pejabat telah berkolusi bersama istrinya. Mereka mengatur siasat sedemikian rupa sehingga seorang bawahan yang bermasalah akan dipersulit. Sebagai satu-satunya solusi, bawahan itu akan meminta istri atasannya sebagai mediator. Dan memang demikianlah skenario yang telah diatur oleh pejabat itu dan istrinya, termasuk besaran 'uang mahar' yang dimintanya.

Kita berlindung kepada Allah dari perbuatan dzalim seperti ini.

Postingan populer dari blog ini

Hadiah di Zaman Kita Adalah Suap

Amru bin Muhajir menuturkan: Pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz menginginkan sebuah apel. Katanya: “ Alangkah enaknya jika kita punya apel. Baunya harum dan rasanya enak. ” Kemudian seorang lelaki dari keluarganya pergi untuk menghadiahkan sebuah apel untuknya. Ketika utusan saudara Umar datang membawakan apel untuknya, dia berkata: “ Betapa harum baunya dan betapa bagus kulit buahnya. Bawa kembali apel wahai anak muda dan sampaikan salamku kepada si fulan pemberi apel ini. Katakan padanya bahwa hadiah yang dia berikan telah kami terima sesuai dengan yang dia niatkan ”. Aku (Amru bin Muhajir) berkata: “ Wahai Amirul Mukminin, pemberi apel itu adalah anak pamanmu dan seorang laki-laki dari anggota keluargamu, sedang engkau sudah mengetahui bahwa Nabi saw mau memakan hadiah, tetapi beliau tidak menerima sedekah ”. Umar menjawab: “ Celaka kamu, sesungguhnya hadiah pada zaman Nabi saw adalah benar-benar hadiah, tapi pada zaman kita ini, hadiah itu adalah suap (risywah) ”.

Anakku, Hak Keluarga Bukan Pada Harta Rakyat!

Pada suatu hari, sampailah harta kekayaaan dari zakat dan jizyah yang dikirim dari beberapa daerah ke kota Madinah. Maka datang puteri Umar bin Khattab, Hafshah ra, kepadanya meminta bagian. Dia berkata sambil bergurau: “ Wahai Amirul Mukminin, keluarkanlah hak kaum kerabat anda dari harta ini! Bukankah Allah telah berpesan mengenai kaum kerabat? ” “ Anakku ”, ujar Umar bersungguh-sungguh, “ Hak kaum kerabat diambil dari harta ayah sendiri. Adapun harta ini adalah harta kaum muslimin. Ayo, berdirilah dan pulanglah ke rumahmu! ” Memang, Umar mendapat didikan dari Muhammad RAsulullah SAW. Ia melihat gurunya berkata kepada puteri yang paling disayanginya: “ Tidak wahai Fatimah, di antara kaum muslimin, masih ada yang lebih membutuhkan harta ini daripada kamu! ”. Permintaan puterinya tidak dipenuhi dan harta itu diberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan.

Aku Hanya Seorang Lelaki Biasa dari Kaum Muslimin

Setelah Umar bin Abdul Aziz menguburkan Sulaiman bin Abdul Malik, dia mendengar bunyi bumi bergemuruh. Ternyata itu adalah suara iring-iringan kendaraan kekhalifahan yang terdiri dari kuda besar, kuda pacu dan kuda tunggangan. Pada setiap kendaraan terdapat seorang pemandu. “ Apa semua ini? ”, Tanya Umar. “ Ini adalah kendaraan-kendaraan kekhalifahan, wahai Amirul Mukminin. Sudah siap untuk anda kendarai ”, jawab mereka. “ Apa hubunganku dengan ini. Singkirkan semua itu dariku. Kudaku lebih layak untuk aku kendarai ”, titah Umar kepada mereka. Kemudian seorang kepala polisi berjalan dengan tombak di depannya. Umar berkata kepadanya: “ Menyingkirlah kamu dariku. Ada perlu apa kamu dengan semua ini. Sesungguhnya aku hanya seorang lelaki biasa dari kaum muslimin .”