Langsung ke konten utama

"Saya Menangguhkan Makanan Enak Itu …"

KISAH :


Pada suatu hari, sewaktu Amirul Mu'minin Umar bin Khattab sedang duduk menghadapi hidangan, ia dikunjungi oleh Hafash bin Abil 'Ash. Maka dia mengundang Hafash agar turut makan bersamanya. Tetapi ketika Hafash melihat dendeng kering yang menjadi lauk pauknya, dia menolak tawaran Amirul Mu'minin itu dengan mengucapkan "terima kasih".

Hafash tak mau repot mengunyah daging keras yang akan merusak perut besarnya untuk mencernanya. Umar memaklumi penolakannya sambil bertanya:
" Apa yang membuatmu berat menerima hidangan kami ?"

Hafash yang mempunyai sifat terbuka menyahut:
"Lauknya terlampau keras dan liat, …dan sebentar lagi saya akan pulang untuk memakan makanan empuk yang telah disediakan untuk saya …".

Maka ujar Umar:
"Pikirmu saya tak sanggup memesan domba-domba muda, kemudian saya suruh buang kulitnya, kemudian saya suruh pula menyediakan tepung terigu untuk membuat roti yang empuk, beberapa liter kurma yang digodok dengan minyak samin, hingga bila warnanya telah kemerah-merahan maka dituangi air, hingga bagaikan daging rusa…, tinggallah bagi saya menyantapnya dan meminum airnya …".

Sambil tertawa, Hafash menjawab:
"Rupanya anda tahu juga makanan enak … "

Umar segera memotong perkataan Hafash dengan ucapannya:
"Demi Allah yang jiwa saya berada di tanganNya, sekiranya kebaikan-kebaikan saya tidak berkurang karenanya, tentulah saya akan mengikuti jejak tuan-tuan dalam hidup senang…

Seandainya saya suka, tentulah saya (sebagai Amirul Mu'minin) orang yang terenak makannya dan paling mewah hidupnya. Dan sebetulnya, kami ini lebih mengetahui makanan-makanan enak daripada orang-orang yang biasa memakannya. Tapi kami menyisakannya untuk bekal suatu hari… di mana setiap ibu yang menyusui akan lengah dengan anak susuannya, dan setiap wanita yang hamil akan keguguran…





Saya menangguhkan memakan makanan-makanan yang enak itu, karena saya mendengar Allah berfirman mengenai beberapa kelompok manusia:



".....Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniamu dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalas dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik". (QS Al-Ahqaf 46 : 20)



IBROH :

Rasa malu Umar terhadap Allah menjauhkan dirinya dari segala kemewahan dan kesenangan dunia. Dia telah menghindarkan diri dari menjamah berbagai macam makanan enak, begitu pula menikmati kesenangan-kesenangan yang tidak diharamkan Allah atasnya. Alasannya karena ia tidak mampu mensyukuri nikmat yang sedikit, apalagi untuk mensyukuri nikmat yang banyak lagi besar.

Sekiranya kesenangan dunia yang sebentar itu merupakan pahala atas kebaikan amalnya, maka dia memilih untuk menangguhkan diterimanya pahala itu di akhirat yang abadi kelak. Padahal jika dia menginginkan kesenangan dan kemewahan, tentulah dengan mudah diperolehnya seberapapun banyaknya. Sebagai Amirul Mu'minin, dia memikul amanat untuk menjadi contoh ikutan bagi umat. Untuk itu, dia tidak menghendaki kehidupan selain yang sederhana dan bersahaja. Dia dan keluarga tidak memakan suatu makanan kecuali sekedar untuk menunjang hidup.

Postingan populer dari blog ini

Hadiah di Zaman Kita Adalah Suap

Amru bin Muhajir menuturkan: Pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz menginginkan sebuah apel. Katanya: “ Alangkah enaknya jika kita punya apel. Baunya harum dan rasanya enak. ” Kemudian seorang lelaki dari keluarganya pergi untuk menghadiahkan sebuah apel untuknya. Ketika utusan saudara Umar datang membawakan apel untuknya, dia berkata: “ Betapa harum baunya dan betapa bagus kulit buahnya. Bawa kembali apel wahai anak muda dan sampaikan salamku kepada si fulan pemberi apel ini. Katakan padanya bahwa hadiah yang dia berikan telah kami terima sesuai dengan yang dia niatkan ”. Aku (Amru bin Muhajir) berkata: “ Wahai Amirul Mukminin, pemberi apel itu adalah anak pamanmu dan seorang laki-laki dari anggota keluargamu, sedang engkau sudah mengetahui bahwa Nabi saw mau memakan hadiah, tetapi beliau tidak menerima sedekah ”. Umar menjawab: “ Celaka kamu, sesungguhnya hadiah pada zaman Nabi saw adalah benar-benar hadiah, tapi pada zaman kita ini, hadiah itu adalah suap (risywah) ”.

Anakku, Hak Keluarga Bukan Pada Harta Rakyat!

Pada suatu hari, sampailah harta kekayaaan dari zakat dan jizyah yang dikirim dari beberapa daerah ke kota Madinah. Maka datang puteri Umar bin Khattab, Hafshah ra, kepadanya meminta bagian. Dia berkata sambil bergurau: “ Wahai Amirul Mukminin, keluarkanlah hak kaum kerabat anda dari harta ini! Bukankah Allah telah berpesan mengenai kaum kerabat? ” “ Anakku ”, ujar Umar bersungguh-sungguh, “ Hak kaum kerabat diambil dari harta ayah sendiri. Adapun harta ini adalah harta kaum muslimin. Ayo, berdirilah dan pulanglah ke rumahmu! ” Memang, Umar mendapat didikan dari Muhammad RAsulullah SAW. Ia melihat gurunya berkata kepada puteri yang paling disayanginya: “ Tidak wahai Fatimah, di antara kaum muslimin, masih ada yang lebih membutuhkan harta ini daripada kamu! ”. Permintaan puterinya tidak dipenuhi dan harta itu diberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan.

Aku Hanya Seorang Lelaki Biasa dari Kaum Muslimin

Setelah Umar bin Abdul Aziz menguburkan Sulaiman bin Abdul Malik, dia mendengar bunyi bumi bergemuruh. Ternyata itu adalah suara iring-iringan kendaraan kekhalifahan yang terdiri dari kuda besar, kuda pacu dan kuda tunggangan. Pada setiap kendaraan terdapat seorang pemandu. “ Apa semua ini? ”, Tanya Umar. “ Ini adalah kendaraan-kendaraan kekhalifahan, wahai Amirul Mukminin. Sudah siap untuk anda kendarai ”, jawab mereka. “ Apa hubunganku dengan ini. Singkirkan semua itu dariku. Kudaku lebih layak untuk aku kendarai ”, titah Umar kepada mereka. Kemudian seorang kepala polisi berjalan dengan tombak di depannya. Umar berkata kepadanya: “ Menyingkirlah kamu dariku. Ada perlu apa kamu dengan semua ini. Sesungguhnya aku hanya seorang lelaki biasa dari kaum muslimin .”